Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelontorkan dana fantastis senilai Rp1,34 triliun untuk membangun 65 Kampung Nelayan Merah Putih pada tahap pertama di tahun 2025. Program strategis nasional ini dirancang untuk menyokong kedaulatan pangan dari sektor kelautan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara merata dari Sabang sampai Merauke.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 15 SEPTEMBER 2025 – Trian Yunanda, Staf Ahli Menteri KP Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, menegaskan bahwa pembangunan ini bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi merupakan paket komprehensif dari hulu hingga hilir. “Program Kampung Nelayan Merah Putih ini untuk mendukung peningkatkan produktivitas, kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” tegas Trian dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/9/2025).
Pembangunan tahap pertama yang mencaplok 65 lokasi tersebar di berbagai penjuru Tanah Air ditargetkan tuntas dalam waktu 3,5 bulan, atau tepat pada 2 Desember 2025. Setelahnya, pemerintah telah menyiapkan tahap kedua untuk membangun 35 kampung lainnya, sehingga total sasaran 100 Kampung Nelayan Merah Putih pada 2025 dapat terwujud. Pengajuan anggaran untuk tahap kedua ini sedang diproses melalui mekanisme Anggaran Biaya Tambahan (ABT) di Kementerian Keuangan.
Setiap kampung nelayan akan dilengkapi dengan sarana dan prasarana mutakhir yang terintegrasi. Fasilitas tersebut meliputi dermaga, gedung pendingin (cold storage), pabrik es, shelter coolbox, sentra kuliner, stasiun pengisian BBM khusus nelayan (SPBUN), hingga bengkel kapal. Tak ketinggalan, balai pelatihan dan pusat UMKM juga dibangun untuk memberdayakan sumber daya manusia.
Di balik megahnya pembangunan fisik, KKP juga melakukan social engineering atau rekayasa sosial. Pendekatan ini mencakup pelatihan pengelolaan, pengembangan koperasi, kewirausahaan, serta bantuan sertifikasi dan perizinan. Trian mencontohkan kesuksesan model serupa yang sudah berjalan di Biak, Papua, yang dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan dari program ini sangat signifikan. KKP memproyeksikan peningkatan produksi perikanan rata-rata 800 ton per tahun per lokasi. Selain itu, program ini akan membuka lapangan kerja permanen bagi lebih dari 7.000 orang di 100 lokasi. “Selama pembangunan sarana prasarna pasti akan ada pekerjaan konstruksi yang membuka kesempatan kerja,” tambah Mahrus, Direktur Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
Untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, Inspektur Jenderal KKP, Lutfi, menyatakan bahwa pembangunan diawasi ketat oleh pengawas internal dan eksternal, termasuk Kejaksaan Agung dan BPKP, mulai dari tahap perencanaan hingga operasional.
Kolaborasi dengan BUMN energi, PT Pertamina, juga dijalin untuk menjamin pasokan BBM yang lancar bagi nelayan. Windriawan Kurniawan dari Pertamina Patra Niaga mengungkapkan koordinasi intensif dengan KKP dan pemda untuk memetakan titik pasokan yang strategis.
Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyambut baik program ini. Ketua KNTI Dani Setiawan berharap, selain memacu produktivitas, program ini juga memastikan kegiatan ekonomi memiliki basis pengelolaan yang kuat dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan pesisir.
Pilot Project 65 Lokasi Tahap I Kampung Nelayan Merah Putih tersebar di: Aceh (4 lokasi), Bali (1), Banten (1), Bengkulu (2), DI Yogyakarta (1), Gorontalo (1), Jawa Barat (5), Jawa Tengah (5), Jawa Timur (4), Kalimantan Barat (2), Kalimantan Tengah (1), Kepulauan Riau (3), Lampung (4), Maluku (2), Maluku Utara (3), Nusa Tenggara Barat (3), Nusa Tenggara Timur (4), Papua Barat Daya (1), Papua Selatan (1), Sulawesi Barat (2), Sulawesi Selatan (6), Sulawesi Tengah (1), Sulawesi Tenggara (5), Sumatra Barat (2), Sumatera Selatan (1).
Riau Terlupakan dari Daftar
Ironisnya, dalam daftar 65 lokasi pertama tersebut, Provinsi Riau justru tidak tercantum. Padahal, Riau, khususnya Kota Bagansiapiapi, memiliki sejarah keemasan sebagai kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia pada era kolonial Belanda (1904-1950-an), dengan produksi mencapai 150.000 ton per tahun. Julukan “Kota Ikan” dan kejayaan ekonomi masa lampaunya, yang ditandai dengan berdirinya cabang BRI sejak 1917, kini memudar akibat sedimentasi Sungai Rokan dan praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Ketidakhadiran Riau dalam program prioritas nasional ini memantik pertanyaan tentang pemerataan pembangunan dan upaya menghidupkan kembali kejayaan maritim daerah yang pernah berjaya.
Comment