Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membuka suara terkait gelombang unjuk rasa yang mengguncang Indonesia pada akhir Agustus 2025. Sedikitnya 1.186 anak harus berhadapan dengan jeruji besi setelah ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian di berbagai daerah. Yang lebih memprihatinkan, lembaga negara ini menemukan dugaan kuat adanya perlakuan tidak manusiawi serta pembatasan akses komunikasi dan bantuan hukum terhadap anak-anak tersebut selama dalam penahanan.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 3 SEPTEMBER 2025 – Data resmi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan fakta mencengangkan dari rangkaian demonstrasi yang terjadi pada 25, 28, 29, 30, dan 31 Agustus 2025 lalu. Anggota KPAI Diyah Puspitasari, dalam keterangan persnya pada Rabu (3/9/2025), menyatakan bahwa sebanyak 1.186 anak harus menjalani proses penangkapan dan penahanan oleh kepolisian.
“Di beberapa Polres, KPAI turut mendampingi keluarga dan menemukan dugaan perlakuan tidak manusiawi serta pembatasan akses komunikasi dengan keluarga maupun akses bantuan hukum,” tegas Diyah, menyiratkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Rincian data KPAI menunjukkan penyebaran penangkapan terjadi secara masif. Polda Metro Jaya menjadi wilayah dengan penangkapan terbanyak, yakni 150 anak pada 25 Agustus dan 200 anak pada 28 Agustus. Wilayah lain di Jakarta seperti Jakarta Timur, Selatan, dan Barat juga mencatat puluhan anak diamankan.
Meski sebagian besar telah dikembalikan kepada orang tua, sebanyak 11 anak di Jakarta Utara hingga kini masih dalam proses hukum dan belum direunifikasi dengan keluarga. Situasi serupa terjadi di berbagai penjuru tanah air. KPAI mencatat titik kerawanan di daerah, dengan angka signifikan seperti 200 anak di Semarang, 99 anak di Kebumen, 99 anak di Grobogan, 73 anak di Bandung, 65 anak di Solo, 50 anak di Surabaya, dan puluhan anak lainnya di Yogyakarta, Medan, Pontianak, hingga Bali.
Duka dan Kerusakan Menyelimuti Negeri
Gelombang demonstrasi yang awalnya memprotes tunjangan dan pernyataan anggota DPR ini berujung pada tragedi kemanusiaan dan kerusakan yang dalam. Setidaknya 10 nyawa melayang menurut catatan Komnas HAM per 2 September 2025. Korban jiwa termasuk seorang pengemudi ojek online (ojol) yang tewas dilindas kendaraan taktis di Jakarta Pusat (28/8) dan Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Amikom Yogyakarta, yang meninggal pada 31 Agustus.
Kerusuhan juga memicu aksi vandalisme dan pembakaran. Gedung DPRD Makassar dan Gedung Grahadi di Surabaya hangus dilalap si jago merah. Tak hanya itu, kediaman sejumlah pejabat publik seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran penjarahan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melaporkan kerusakan aset terjadi di 23 daerah, termasuk kerusakan pada benda purbakala di Kediri.
Desakan Investigasi Internasional
Situasi nasional yang mencekam ini bahkan menarik perhatian dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui juru bicara Kantor HAM mereka (OHCHR) Ravina Shamdasani, mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan yang cepat dan transparan.
“Kami menyerukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan transparan atas semua dugaan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, termasuk penggunaan kekuatan,” kata Shamdasani pada Senin (1/9/2025). Desakan ini menambah berat tugas pemerintah untuk tidak hanya menuntaskan kerusakan materiil, tetapi juga memulihkan luka-luka fisik dan psikis korban serta keluarga, terutama dari kalangan anak-anak yang menjadi korban penanganan aparat.
Comment