Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program unggulan pemerintah, tengah menghadapi ujian berat. Realitas di lapangan menunjukkan dua persoalan krusial membelit program ini: penyerapan anggaran yang masih lambat dan sejumlah kasus keracunan massal yang telah menjangkiti ribuan penerima manfaat. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana mengaku optimis, namun ancaman relokasi anggaran dari Menteri Keuangan dan sorotan publik terhadap keamanan pangan menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 23 SEPTEMBER 2025 – Implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah sejak Januari 2025 menghadapi tantangan kompleks. Laporan terbaru dari Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap dua masalah utama: realisasi anggaran yang baru menyentuh 23,9% dan temuan 4.711 orang yang diduga mengalami keracunan usai mengonsumsi hidangan dari program tersebut.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/9/2025), mengakui penyerapan anggaran MBG hingga pertengahan September masih berada di angka Rp17 triliun dari total pagu Rp71 triliun. “Mesin penyerapan anggaran di Badan Gizi itu adalah jumlah SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Satu SPPG berdiri dalam satu hari, maka Rp1 miliar akan terserap,” jelas Dadan, merinci mekanisme yang menjadi kunci percepatan program.
Dia menyebut lambatnya penyerapan di awal terjadi karena ketidakpastian banyak pihak. Dari hanya 190 unit SPPG pada Januari, jumlahnya kini telah melesat menjadi 8.344 unit. Dadan menargetkan 10.000 SPPG beroperasi pada akhir September dan 20.000 unit pada Oktober. Dengan target itu, ia yakin penyerapan anggaran bisa melesat hingga Rp20 triliun per bulan mulai November dan pagu tahun ini dapat terserap seluruhnya.
Namun, Dadan juga mengungkapkan bahwa Rp9,1 triliun dari anggaran yang ada masih terkendala sehingga belum bisa dipakai. Di sisi lain, BGN justru telah mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp50 triliun yang telah mendapat lampu hijau dari Presiden Prabowo Subianto. Presiden bahkan disebut menawarkan tambahan Rp100 triliun, namun ditolak BGN dengan alasan kapasitas penyerapan.
Ancaman Relokasi Anggaran dari Kemenkeu
Optimisme BGN berhadapan dengan peringatan keras dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya mengancam akan merelokasi anggaran MBG jika serapannya tidak optimal hingga akhir Oktober mendatang. “Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapannya hanya akan sekian, ya kita ambil juga uangnya. Kita sebar ke tempat lain,” tegas Purbaya pada Jumat (19/9).
Dadan menanggapi ancaman tersebut dengan santai. “Sekarang [penyerapan] sudah hampir Rp17 triliun. Jadi kami tidak risau yang begitu-begitu,” katanya. Dia mengklaim telah berkoordinasi dengan Presiden dan tahu apa yang harus dilakukan. Jika tambahan anggaran disetujui, total yang harus diserap BGN dalam tiga bulan tersisa 2025 bisa mencapai约 Rp104 triliun.
Sorotan Tajam Akibat Kasus Keracunan Massal
Persoalan lain yang tak kalah pelik adalah maraknya laporan keracunan. Data BGN per 22 September mencatat 4.711 orang di seluruh Indonesia diduga keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG. Rinciannya, Wilayah I (Sumatra) 1.281 orang, Wilayah II (Jawa) 2.606 orang, dan Wilayah III (Kalimantan, Sulawesi, Papua) 824 orang.
Kepala Staf Presiden (KSP) Muhammad Qodari bahkan menyebut angka lebih tinggi. Berdasarkan integrasi data tiga lembaga, korban mencapai lebih dari 5.000 orang. “Data dari BGN mencatat 5.080 penderita, Kemenkes 5.207, dan BPOM 5.320. Meski angkanya berbeda, trennya selaras,” ujar Qodari, meminta agar data ini tidak dipertentangkan.
BGN mengidentifikasi bahwa sebagian besar kasus terjadi di dapur SPPG yang baru beroperasi dan belum terbiasa melayani dalam skala besar. Qodari menyoroti lemahnya kepatuhan SPPG terhadap standar keamanan pangan. Dari 1.379 SPPG, hanya 413 yang memiliki SOP Keamanan Pangan, dan cuma 312 yang benar-benar menjalankannya.
Pembentukan Tim Investigasi dan Pengawasan Diperketat
Menanggapi hal ini, BGN berjanji memperketat pengawasan. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, akan membentuk tim investigasi khusus yang terdiri dari ahli kimia, farmasi, dan kesehatan. Tim ini akan turun langsung untuk menelusuri bahan baku, proses memasak, dan mengambil sampel makanan.
“Investigasi ini untuk mempercepat temuan sambil menunggu BPOM, supaya masyarakat segera mendapatkan jawabannya,” kata Nanik. Langkah ini diharapkan menjadi second opinion dan mengatasi akar masalah, termasuk buruknya higienitas, pengolahan yang tidak sesuai, dan kontaminasi silang yang menjadi penyebab utama berdasarkan asesmen BPOM.
Dengan waktu yang semakin mepet, program mercusuar pemerintah ini dituntut membuktikan kinerjanya tidak hanya dalam menyerap anggaran tetapi juga, yang lebih penting, dalam menjamin keamanan dan kesehatan para penerima manfaatnya.
Comment