Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, membantah keras bahwa gelombang kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di 104 daerah merupakan respons atas kebijakan efisiensi transfer dana pusat ke daerah (TKD) yang mulai diterapkan awal tahun 2025. Bima menegaskan, sebagian besar kebijakan kenaikan PBB-P2 itu justru telah ditetapkan jauh sebelum kebijakan sentral itu terbit, sehingga tidak ada kaitannya. Hanya tiga daerah yang menyesuaikan tarifnya pada tahun ini.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 25 AGUSTUS 2025 – Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) angkat bicara menanggapi maraknya kebijakan sejumlah pemerintah daerah (Pemda) yang menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengonfirmasi setidaknya terdapat 104 daerah yang telah menaikkan tarif pajak tersebut beberapa waktu terakhir.
Penegasan ini disampaikan Bima usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, pada Senin (25/8/2025). Menurutnya, adalah tidak tepat jika menghubungkan fenomena kenaikan PBB-P2 dengan kebijakan pengetatan aliran dana transfer dari pusat. “Data yang kami miliki, itu dari 104 daerah tadi, sebagian besar itu mengeluarkan kebijakan itu sebetulnya di tahun-tahun sebelumnya, sebelum kebijakan efisiensi. Jadi hanya tiga daerah yang melakukan penyesuaian itu di 2025,” ujar Bima Arya yang juga merupakan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Bima menilai, langkah menaikkan tarif PBB-P2 murni merupakan inisiatif daerah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB-P2 memang menjadi ‘primadona’ bagi banyak daerah selama hampir tiga dekade terakhir untuk meningkatkan kocek kas daerah.
Meski begitu, Kemendagri tidak tinggal diam melihat dinamika di akar rumput. Bima mengungkapkan, kementeriannya telah melayangkan surat edaran kepada seluruh kepala daerah untuk berhati-hati dalam menetapkan penyesuaian tarif PBB-P2. Terutama bagi daerah yang menetapkan kenaikan drastis hingga di atas 100%, Kemendagri menghimbau untuk melakukan kajian ulang, menunda, bahkan membatalkan kebijakan jika menuai protes keras dari masyarakat. “Beberapa daerah kami catat sudah membatalkan itu,” tambahnya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemandirian fiskal daerah masih menjadi pekerjaan rumah besar. Data klasifikasi Kemendagri mengungkapkan kondisi yang timpang. Dari 38 provinsi, hanya 11 provinsi (29%) yang memiliki kapasitas fiskal kuat, ditandai dengan rasio PAD yang lebih tinggi daripada transfer pusat.
Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di level kabupaten dan kota. Dari 415 kabupaten, hanya 4 kabupaten (1%) yang mampu berdiri dengan kapasitas fiskal kuat. Sementara dari 93 kota, hanya 11 kota yang masuk kategori kuat, sedangkan mayoritas atau 70 kota masih bergulat dengan kapasitas fiskal yang rendah.
Menyikapi hal ini, Kemendagri mendorong pemerintah daerah untuk berpikir out of the box dan tidak hanya mengandalkan sektor pajak. Daerah didorong untuk lebih kreatif dan inovatif mencari sumber pendapatan dan pendanaan alternatif. Beberapa opsi yang ditawarkan antara lain melalui Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), penerbitan obligasi daerah, pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, hingga menjajaki kerja sama internasional.
Dukungan untuk memperkuat tata kelola fiskal daerah juga datang dari Komisi II DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menekankan bahwa penguatan kemandirian fiskal harus menjadi tolok ukur keberhasilan desentralisasi, terutama menuju peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. “Memang tidak semuanya bertumpu pada tanggung jawab Kemendagri. Koordinasi antara Kemendagri dan Kementerian Keuangan, dan juga evaluasi regulasi yang menjadi bottleneck dalam memberdayakan aset daerah, juga harus dilakukan,” pungkas Aria.
Kebijakan efisiensi transfer ke daerah sendiri tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang memangkas dana TKD hingga Rp50 triliun. Untuk tahun depan, anggaran transfer ke daerah (TKD) diproyeksikan turun 24,8% dari Rp864,1 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp650 triliun dalam Rancangan APBN 2026.
Comment