SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Opini
Home / Opini / Joget Tsunami Informasi, Demonstrasi dan RUU Perampasan Aset

Joget Tsunami Informasi, Demonstrasi dan RUU Perampasan Aset

HEADLINESIA.com, JAKARTA – Gelombang demonstrasi yang menggelegar di seantero Indonesia menjadi ujian pertama bagi Presiden ke-8 Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang baru sah bertahta sejak 24 Oktober 2024. Aksi massa yang menyasar Gedung DPR RI ini bukanlah ledakan yang tiba-tiba. Ia adalah puncak gunung es dari kekecewaan publik yang lama terpendam, dipantik oleh tsunami informasi di media sosial mengenai aksi “joget” sejumlah anggota dewan di tengah sorotan tajam terhadap kinerja mereka.

Aksi itu dengan cepat berubah menjadi mimbar rakyat yang menyuarakan segudang tuntutan penolakan terhadap rencana kenaikan tunjangan anggota dewan, protes atas kata-kata yang melukai hati konstituen, hingga desakan untuk menyelesaikan beragam kasus korupsi. Namun, di antara semua tuntutan itu, satu isu strategis nasional mencuat: perlambatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) yang telah dinantikan selama lebih dari satu setengah dekade.

Jejak Panjang RUU PATP yang Terus Diabaikan

Naskah RUU PATP pertama kali disusun pada 2008. Dorongan awalnya lahir dari keprihatinan mendalam terhadap melonjaknya kekayaan para aparatur sipil negara (ASN) yang dinilai tidak wajar jika dibandingkan dengan pendapatan resminya. RUU ini kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2015-2019, namun gagal total untuk dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas.

Harapan sempat menguat ketika pada Prolegnas 2020-2024, RUU ini kembali diusulkan pemerintah. Sayangnya, usulan itu ditolak oleh DPR RI. Baru pada 2023, muncul titik terang dengan kesepakatan untuk memasukkannya kembali dalam Prolegnas. Namun, langkahnya masih terasa lamban dan penuh keraguan.

Gubernur Aceh Tolak Pemotongan Dana Transfer

Keengganan DPR untuk mengesahkan RUU PATP patut diduga kuat karena norma unexplained wealth (kekayaan yang tidak dapat dijelaskan sumbernya) yang termuat di dalamnya. Norma revolusioner ini akan menjadi senjata ampuh bagi negara untuk menyasar pejabat publik, termasuk anggota dewan sendiri, yang memiliki profil kekayaan yang janggal dan tidak sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mereka laporkan ke KPK.

Lebih dari Sekadar Kerugian Negara dan Sebuah Solusi untuk Kesenjangan

Pentingnya pengesahan UU ini melampaui sekadar upaya memulihkan kerugian negara. Ia adalah instrumen kunci untuk memerangi kesenjangan ekonomi yang kian menganga. Dibalik meroketnya harta kekayaan segelintir orang, tersembunyi realita pahit terjungkalnya ekonomi masyarakat bawah.

Gejolak sosial yang memicu demonstrasi berawal dari kebijakan yang dianggap memberatkan, seperti berkurangnya nilai transfer pusat ke daerah yang disebut sebagai ‘efisiensi’. Dampaknya langsung terasa: tunjangan tertunda, gaji belum dibayar, event daerah ditiadakan. Siklus perputaran uang di daerah pun stagnan, sementara di wilayah lain justru mengalami lonjakan tidak wajar. Inilah puncaknya: kesenjangan yang menjadi biang keladi instabilitas.

UU Perampasan Aset hadir sebagai jawaban untuk memutus mata rantai ini. Tujuannya jelas: mengembalikan uang negara yang dirampas oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri dan menyalurkannya kembali bagi kesejahteraan rakyat yang lebih adil.

Pemerintah Targetkan Bebas ODOL 2027, Riau dan Jawa Barat jadi Percontohan

Data berbicara nyaring tentang urgensi ini. Kerugian keuangan negara akibat korupsi pada 2022 saja mencapai angka fantastis, Rp 48,786 triliun. Yang berhasil dikembalikan melalui mekanisme uang pengganti dalam pidana hanya Rp 3,821 triliun atau 7,83%. Angka yang sangat timpang.

RUU PATP juga tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi. Cakupannya lebih luas, menjangkau kejahatan berdimensi ekonomi seperti penghindaran pajak, perdagangan orang, penipuan, hingga perusakan lingkungan. Human Rights Watch pada 2006 pernah mencatat, Indonesia menderita kerugian mencapai US$ 2 miliar atau setara Rp 32,8 triliun (dengan kurs saat ini) akibat pajak dan royalti yang tidak terpungut dari pembalakan liar.

Menuju Pemulihan Energy Baru untuk Indonesia

Dalam siklus ekonomi, ada hukum sebab-akibat yang tak terbantahkan: perputaran uang yang rendah melahirkan kemiskinan; kemiskinan memicu kelaparan dan gizi buruk; dan pada akhirnya, seluruhnya bermuara pada satu kata: kemiskinan yang sistemik. Dari situlah kemudian kejahatan kerap tumbuh sebagai akibat dari ketidakstabilan ekonomi.

Oleh karena itu, pengembalian aset dan uang negara bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan yang genting bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Pengesahan UU Perampasan Aset akan menjadi energi baru bagi Indonesia untuk tidak hanya memulihkan kerugian finansial, tetapi lebih jauh lagi, menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan dalam negeri secara berkelanjutan.

 Adik Jusuf Kalla Jadi Tersangka, Kerugian Negara Tembus Rp1,35 Triliun

Demonstrasi adalah bentuk komunikasi paling keras dari rakyat. Di balik gemuruhnya spanduk dan teriakan, tersimpan harapan pilu agar negara hadir menyelesaikan persoalan mendasar mereka. UU Perampasan Aset bisa menjadi jawaban konkret pertama Prabowo untuk menjawab teriakan itu. Momentum politiknya kini ada di tangan. Tinggal menunggu, apakah pemerintah dan DPR memiliki keberanian politik untuk mewujudkannya.


Penulis : Shodik Purnomo, S.Sos | Pengamat Komunikasi Politik

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×
×