Opini
Home / Opini / Apa Kabar Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB)?

Apa Kabar Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB)?

Hasan Supriyanto: Apa Kabar Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB)?
Hasan Supriyanto: Apa Kabar Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB)?

Oleh : Hasan Supriyanto

Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau

Cagar Biosfer secara definisi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sekarang sudah berpisah menjadi Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang terdiri dari daratan, perairan dan pantai yang bertujuan untuk mencapai keselarasan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial dan ekonomi berkelanjutan, yang diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSKBB) merupakan salah satu dari 20 cagar biosfer di Indonesia dari keseluruhan 748 cagar biosfer dunia yang tersebar di 134 negara. Status tersebut resmi ditetapkan pada tanggal 26 Mei 2009 melalui siding ke-21 International Coordinating Council (ICC) Man and Biosphere (MAB) UNESCO di Jeju Korea Selatan. Status Cagar Biosfer adalah label yang diberikan UNESCO yang merupakan bagian dari PBB untuk membantu melindungi situs dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan di kawasan tersebut.

SA’I: REFLEKSI PERJALANAN PSIKOSPIRITUAL MANUSIA

Penyebutan atau penyematan nama suatu wilayah sebagai cagar biosfer memiliki konsekuensi yang signifikan, baik secara positif maupun negatif. Secara positif, status cagar biosfer dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga dapat mendorong kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga internasional, dalam pengelolaan wilayah tersebut. Konsekuensi negatifnya antara lain potensi perubahan dalam penggunaan lahan, peningkatan tekanan pada sumber daya alam, dan bahkan konflik sosial akibat pembatasan aktivitas tertentu.

Pertanyaannya adalah apakah keberadaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB) yang diakui oleh UNESCO dan secara administratif berada di wilayah Provinsi Riau sudah menciptakan atau memberikan dampak positif dengan penyebutan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dianalisis satu persatu dari konsekuensi penyebutan nama cagar biosfer.

Pertama, penyebutan cagar biosfer tentu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk secara bersama akan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Tentu saja dalam konteks ini adalah menyelamatkan kawasan Cagar Biosfer GSKBB. Pertanyaanya apakah benar harapan dan kondisi ini terjadi di tingkat tapak? Untuk menjawabnya dapat diamati dari fenomena alih fungsi lahan dan perambahan dari kawasan hutan yang begitu massif. Salah satunya disebabkan karena perilaku dan kondisi masyarakat sekitar kawasan. Praktek alih fungsi lahan ini disinyalir sudah sampai pada kawasan yang termasuk Cagar Biosfer GSKBB.

Alih fungsi lahan ini tidak terlepas dari peningkatan pertumbuhan penduduk baik kelahiran maupun akibat migrasi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan dengan alih fungsi lahan yang massif termasuk yang dilakukan dengan perambahan liar atau illegal logging. Peralihan fungsi hutan dan lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit menjadi tidak terkendali. Disaat yang sama penduduk setempat memiliki keterbatasan kepemilikan lahan. Akibatnya terjadi perebutan ruang atau lahan antara masyarakat setempat dan pendatang.

Disisi lain, berdasarkan pengalaman penulis melakukan komunikasi langsung dengan masyarakat di desa sekitar kawasan, banyak masyarakat yang tidak mengetahui secara utuh kawasan tersebut merupakan kawasan lindung. Tidak hanya masyarakat awam, tokoh masyarakat sekitar kawasan juga tidak mengetahui. Proses penetapan kawasan dirasakan masyarakat tidak melalui proses partispasi masyarakat. Masyarakat menyebutnya sejauh ini tidak ada sosialisasi ke masyarakat dan tidak ada pelibatan masyarakat. Situasi ini menyebabkan anggapan beberapa kelompok masyarakat kalau kawasan yang dimaksud masih merupakan lahan masyarakat.

Menunggu Langkah Penyelematan Daerah Tangkapan Air PLTA Koto Panjang

Kedua, penyematan Cagar Biosfer ini menjadi citra tersendiri yang positif dalam pengelolaan kawasan. Disisi lain, penyematan cagar biosfer menjadi perhatian berbagai pihak termasuk dunia international. Pertanyaanya adalah apakah citra yang positif ini sebanding dengan kondisi kawasan saat ini. Pertanyaan lainnya apakah kondisi yang terjadi saat ini diketahui oleh dunia international khususnya UNESCO yang menyematkan nama cagar biosfer pada kawasan ini? Apakah ada proses peninjauan, monitoring dan evaluasi terhadap penyematan nama cagar biosfer ini dengan kondisi saat ini? Tidak bisa dijawab secara pasti karena tidak ada informasi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pastinya, UNESCO sudah melakukan mekanisme tinjauan atau monitoring dan evaluasi untuk maksud tersebut. Karena UNESCO, melalui program Man of Biosfer (MAB), melakukan tinjauan berkala setiap 10 tahun untuk memastikan bahwa cagar biosfer tetap memenuhi kriteria dan standar yang ditetapkan. Tinjauan berkala ini bertujuan untuk memastikan bahwa cagar biosfer terus memenuhi kriteria dan standar yang ditetapkan oleh UNESCO, termasuk dalam hal keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya alam, dan interaksi antara manusia dan alam.

Tinjauan Man and Biosphere (MAB) UNESCO di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa cagar biosfer telah memenuhi standar internasional, sedangkan beberapa lainnya masih membutuhkan perbaikan. Cagar Biosfer Bantimurung Bulusaraung Ma’rupanne telah diakui sebagai cagar biosfer baru oleh UNESCO, dan tinjauan berkala terhadap Cagar Biosfer Cibodas, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, dan Cagar Biosfer Wakatobi juga diterima. Melalui tinjauan yang dilakukan UNESCO diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan perbaikan terhadap kawasan.

Namun sayangnya penulis belum memperoleh informasi yang valid seputar hasil tinjauan UNESCO melalui MAB terhadap Cagar Alam Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Karena kondisi kawasan yang ada saat ini patut menjadi perhatian semua pihak. Apapun yang terjadi saat ini di kawasan cagar Biosfer GSKBB patut menjadi perhatian karena berbagai indicator khususnya indicator lingkungan sudah mengalami degradasi yang memprihatinkan. Perbaikan memerlukan dukungan berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha, masyarakat dan tentu saja UNESCO.

Dukungan yang diharapkan dari pihak terkait ini sebenarnya dapat dimobilisir dengan keberadaan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Riau Nomor 7 Tahun 2017. Walaupun beberapa pihak mengusulkan penyesuaian terhadap keputusan ini, namun untuk saat ini kelembagaan ini dapat dimanfaatkan untuk secara bersama memperhatikan keberadaan kawasan ini. Melalaui dukungan berbagai pihak, diharapkan pengelolaan kawasan ini menjadi terkoordinir. Dan kawasan ini tetap menjadi kawasan yang sesuai dengan standar penyebutan cagar biosfer dari UNESCO. Semoga

Tawaf dan Kesejahteraan Psikologis

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× Advertisement
× Advertisement