SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Editorial
Home / Editorial / Living Monumen itu Bernama Pacu Jalur, Mahakarya yang Seperti Jalan di Tempat

Living Monumen itu Bernama Pacu Jalur, Mahakarya yang Seperti Jalan di Tempat

HEADLINESIA.com, Gemuruh yang menyayat langit itu kembali menggema di tepian Sungai Kuantan. Ribuan teriak manusia menyatu dengan dentuman gendang yang memacu adrenalin, mengubah sungai menjadi sebuah panggung pertarungan epik. Di atas permukaan air yang beriak, puluhan jalur—perahu kayu panjang berukir nan cantik—meluncur bagikan panah, didayung oleh puluhan lelaki perkasa yang bergerak dalam irama yang nyaris mistis. Ini adalah Pacu Jalur, sebuah mahakarya budaya hidup dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Sebuah pesta rakyat yang dahsyat, mengakar sejak abad ke-17, namun nasibnya masih berlayar di antara gegap gempita lokal dan bayang-bayang ketertinggalan untuk menjadi tuan rumah di panggung pariwisata dunia.

Setiap tahun, tradisi ini mempertontonkan kekuatan kolektif, spiritualitas, dan semangat kebangsaan. Namun, di balik kemegahan yang memesona jutaan pasang mata itu, tersembunyi sebuah ironi yang dalam. Seperti jalur yang gagah perkasa namun masih terikat kuat di dermaga, Pacu Jalur seolah masih menunggu sebuah tangan visioner untuk melepaskan talinya, mengarungi lautan yang lebih luas, dan memperkenalkan keagungannya kepada dunia.


Sejarah yang Berlapis: Dari Urat Nadi Ekonomi hingga Politik Kolonial

Untuk memahami esensi Pacu Jalur, seseorang harus menyelami lorong waktu hingga ke abad ke-17. Pada mulanya, jalur adalah urat nadi peradaban masyarakat Kuantan. Berbentuk perahu panjang yang dipahat dari sebatang pohon utuh—biasanya dari jenis banio atau kulim yang kuat—jalur berfungsi sebagai alat transportasi utama mengangkut hasil bumi dari wilayah hulu ke hilir Sungai Kuantan. Keberadaan jalur bukan sekadar soal mobilitas, melainkan simbol kebersamaan (gotong royong) karena proses pembuatannya melibatkan seluruh warga sebuah jorong (desa) selama berbulan-bulan.

Lompatan signifikannya terjadi pada masa kolonial Belanda. Arsip-arsip pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920-an mencatat, Pacu Jalur sengaja dijadikan agenda resmi dan difasilitasi untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus. Kebijakan ini adalah bagian dari politik etis sekaligus alat pengontrol sosial untuk merangkul elite lokal dan masyarakat. Sungai Kuantan yang biasanya menjadi jalur perdagangan, pada hari itu berubah menjadi ajang hiburan dan kontestasi prestige antarkawasan.

Gubernur Aceh Tolak Pemotongan Dana Transfer

Namun, kecerdasan budaya masyarakat lokal justru mengubah alat politik kolonial itu menjadi media perlawanan simbolik. Pacu Jalur tetap hidup dan justru semakin mengakar setelah Indonesia merdeka. Tradisi ini dengan lihai berasimilasi, beralih fungsi menjadi pesta rakyat untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Setiap hentakan dayung dan sorak penonton menjadi deklarasi kebangsaan yang khas Melayu Riau.

Pesona Dunia Maya vs Realita Lapangan: Doodle Google dan Krisis Akomodasi

Secara kultural, modal Pacu Jalur untuk go-internasional sesungguhnya sangat kuat. Keunikan, skala, dan intensitasnya jarang ditemui di tempat lain. Pengakuan atas keistimewaan ini datang dari raksasa digital dunia, Google, yang mengabadikan Pacu Jalur dalam Doodle khusus pada 23 Agustus 2022. Momen itu adalah pintu masuk emas bagi miliaran orang di dunia untuk mengakses, mengenal, dan tertarik pada tradisi megah dari jantung Pulau Sumatera ini.

Sayangnya, yang tampak memukau di layar smartphone itu kerap kali tidak sejalan dengan kenyataan yang ditemui wisatawan saat mereka benar-benar menginjakkan kaki di Teluk Kuantan. Ledakan jumlah pengunjung—yang bisa mencapai puluhan ribu orang—ternyata tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur akomodasi yang memadai. Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kuantan Singingi pada 2023 mengungkapkan fakta yang mencengangkan: hanya terdapat sekitar 20 hotel dan wisma dengan total 391 kamar yang tersedia.

Padahal, dalam puncak festival, kebutuhan kamar bisa menembus angka lebih dari 1.000. Akibatnya, sebuah pemandangan yang absurd pun terjadi. Wisatawan yang mungkin telah terbang dari jauh terpaksa harus berburu kamar hingga ke kabupaten tetangga seperti Taluk Kuantan di Riau atau bahkan Pasaman Barat di Sumatera Barat. Tidak sedikit yang akhirnya harus “mondok” di rumah-rumah penduduk atau tidur berdesakan dalam kondisi yang jauh dari kata nyaman. Bagaimana mungkin sebuah festival yang menyandang gelar “terbesar” masih gagal memenuhi kebutuhan paling dasar para tamunya?

Pemerintah Targetkan Bebas ODOL 2027, Riau dan Jawa Barat jadi Percontohan

Tepian Narosa: Etalase Kota yang Belum Rampung dan Paradigma Pembangunan Setengah Hati

Episentrum keramaian Pacu Jalur terletak di Tepian Narosa, sebuah kawasan waterfront di jantung Kota Teluk Kuantan. Tempat ini seharusnya menjadi etalase utama, wajah pertama yang dilihat setiap pengunjung. Kenyataannya, Tepian Narosa justru menjadi cermin dari ketidaksiapan tersebut.

Tribun penonton yang didirikan setiap tahun bersifat darurat dan terbatas dari segi kapasitas dan kenyamanan. Zona kuliner, yang seharusnya menjadi surga bagi penikmat cita rasa Melayu, masih tumbuh ala kadarnya tanpa penataan yang higienis dan menarik. Jalur pedestrian untuk penonton terpotong-potong dan tidak aksesibel.

Rencana penataan sebenarnya sudah kerap digaungkan. Wacana pembangunan tribun permanen, penataan waterfront yang modern, dan penambahan ruang publik sudah ada dalam dokumen perencanaan. Namun, realisasi di lapangan selalu terbentur pada persoalan klasik: anggaran dan prioritas pembangunan daerah yang kerap kali tersedot untuk sektor-sektor lain yang dianggap lebih mendesak. Setiap tahun, panitia penyelenggara seperti berlari di tempat, bekerja dengan cara lagi-mode (sistem tambal sulam) untuk menutupi kekurangan infrastruktur dengan solusi-solusi sementara. Hasilnya, festival tetap bisa berlangsung meriah, tetapi wajah kotanya tidak pernah benar-benar berubah menuju standar destinasi kelas dunia.

Ketergantungan pada APBD dan Absennya Korporasi Besar

 Adik Jusuf Kalla Jadi Tersangka, Kerugian Negara Tembus Rp1,35 Triliun

Masalah lain yang membelit adalah soal pendanaan dan sustainability ekonomi event. Hingga saat ini, Pacu Jalur masih sangat bergantung pada injeksi anggaran dari APBD Kabupaten Kuantan Singingi. Jumlahnya tentu terbatas dan harus bersaing dengan kebutuhan pembangunan lain yang juga penting. Keikutsertaan sponsor swasta memang ada, tetapi sifatnya masih sporadis dan skala kecil.

Pola sponsor yang ada pun cenderung miss-directed. Kontribusi perusahaan-perusahaan lebih banyak dialokasikan untuk membantu tim jalur tertentu (membiayai pembuatan perahu, kostum, logistik atlet), bukan untuk pembangunan fasilitas umum yang berdampak jangka panjang seperti infrastruktur tribun, pusat informasi wisata, atau pengembangan SDM pemandu wisata.

Absennya skema Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) yang konkret untuk membangun Paket Pariwisata Pacu Jalur yang komprehensif adalah titik kritisnya. Bandingkan dengan festival budaya besar di regional Asia Tenggara. Songkran di Thailand atau Even Perahu Naga (Dragon Boat Festival) di Tiongkok bukan sekadar lomba, tetapi sudah menjadi mesin pariwisata yang didukung oleh strategi pemasaran global, infrastruktur kelas dunia, dan dukungan penuh dari korporasi-korporasi besar nasional maupun multinasional.

Masyarakat Lokal: Dari Pelaku Aktif Menjadi Penonton di Negeri Sendiri?

Aspek paling krusial yang sering terabaikan adalah pelibatan masyarakat lokal dalam mata rantai ekonomi pariwisata. Pacu Jalur memang melibatkan ribuan orang secara langsung, tetapi sebagian besar hanya terpusat pada aspek perlombaan. Masyarakat ramai-ramai mendukung jalur kampung halaman mereka dengan penuh semangat, tetapi di luar garis finish, potensi ekonomi bagi warga biasa belum tergarap secara optimal.

Usaha homestay tumbuh tetapi sangat terbatas dan belum terstandarisasi. Cenderamata atau merchandise khas Pacu Jalur yang kreatif dan berkualitas nyaris tidak ditemui. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sektor kuliner memang tumbuh, tetapi hanya bersifat musiman dan tanpa dukungan promosi yang berkelanjutan. Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata—seperti pemandu wisata, pengelola akomodasi, atau pelaku usaha kreatif—masih sangat jarang dilakukan. Akibatnya, fenomena economic leakage pun terjadi: wisatawan datang, menonton, menghabiskan uang untuk tiket dan transportasi, lalu pergi tanpa meninggalkan dampak ekonomi yang signifikan dan merata bagi masyarakat luas di Kuansing.

Menuju Panggung Dunia: Sebuah Pekerjaan Rumah Bersama

Pacu Jalur adalah mutu manikam yang disimpan di dalam peti. Google Doodle telah membuka peti itu sebentar, memperlihatkan kilauannya kepada dunia. Dunia pun melirik dan tertarik. Momentum itu adalah sebuah anugerah yang tidak boleh disia-siakan.

Namun, untuk menjemput statusnya sebagai destinasi wisata budaya dunia, diperlukan sebuah lompatan paradigma dan langkah-langkah strategis yang konkret:

  1. Pembangunan Infrastruktur yang Berkelas dan Berkelanjutan: Pemerintah Daerah harus berani menjadikan sektor pariwisata berbasis budaya sebagai prioritas pembangunan utama. Pembangunan tribun permanen, penataan Tepian Narosa yang modern, dan penambahan fasilitas pendukung (toilet, ruang informasi, area makanan) yang higienis adalah sebuah keharusan.
  2. Peningkatan Kapasitas Akomodasi: Merangsang investasi, baik dari dalam maupun luar daerah, untuk membangun hotel-hotel baru serta memberdayakan dan memstandarisasi homestay milik warga dengan pelatihan dan pendampingan yang serius.
  3. Diversifikasi Produk Wisata dan Kreatif Ekonomi: Pacu Jalur tidak boleh berlangsung hanya tiga hari. Perlu dikembangkan packaged tour yang menyertakan wisata sungai, budaya Melayu, kuliner, dan kerajinan tangan. Melibatkan anak-anak muda kreatif untuk melahirkan merchandise yang diminati pasar.
  4. Kemitraan Strategis dan Promosi Global: Menjalin kemitraan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pelaku usaha perhotelan dan travel nasional, serta platform promosi internasional untuk memasarkan Paket Jalur sebagai salah satu flagship event Indonesia.
  5. Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan: Melakukan pelatihan SDM pariwisata secara masif dan berkelanjutan, sehingga masyarakat bukan hanya penonton, tetapi menjadi tuan rumah yang siap, profesional, dan ikut menikmati kue ekonomi dari festival besar ini.

Pacu Jalur adalah lebih dari sekadar lomba dayung; ia adalah living monument, naskah sejarah yang hidup, dan identitas kolektif masyarakat Kuansing. Warisan takbenda yang begitu berharga ini sudah sepantasnya tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga kebanggaan nasional yang disejajarkan dengan event-event budaya besar dunia.

Melepaskan jalur ini ke laut lepas panggung internasional bukanlah pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan sebuah bentuk pelestarian yang progresif. Dengan strategi yang tepat, gegap gempita di Sungai Kuantan tidak hanya akan menggema hingga ke hulu, tetapi akan bergaung ke seluruh penjuru dunia, membawa pesan tentang kekayaan budaya Nusantara dan kearifan lokal yang tetap relevan dari zaman ke zaman. Itulah panggung yang sesungguhnya layak untuk diperjuangkan.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×
×