PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), resmi kembali beroperasi setelah sebelumnya dihentikan sementara oleh pemerintah. Keputusan reactivasi ini didasarkan pada perolehan peringkat hijau dalam program PROPER yang menunjukkan ketaatan perusahaan terhadap tata kelola lingkungan. Namun, langkah ini menuai polemik dan penolakan keras dari para pegiat lingkungan, termasuk Greenpeace, yang menilai operasi tambang di Pulau Gag, Raja Ampat, mengancam surga biodiversitas laut terakhir di dunia.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 13 SEPTEMBER 2025 – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut suspensi operasi PT Gag Nikel. Perusahaan yang beraktivitas di Pulau Gag, kawasan Raja Ampat, Papua Barat ini, telah kembali beroperasi sejak Rabu (3/9/2025).
Keputusan untuk mengizinkan kembali operasi tambang nikel ini merupakan hasil koordinasi lintas kementerian, melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER) menunjukkan PT Gag Nikel memperoleh peringkat hijau. “Artinya, PT Gag Nikel sudah taat terhadap seluruh tata kelola lingkungan dan melakukan pemberdayaan masyarakat,” kata Tri, Rabu (10/9/2025).
Kegiatan operasi perusahaan sempat dihentikan sementara pada awal Juni 2025 untuk dilakukan evaluasi mendalam.
Ancaman bagi Surga Biodiversitas Laut Dunia
Di balik keputusan pemerintah, kekhawatiran terhadap dampak ekologis justru semakin menjadi sorotan. Raja Ampat dikenal secara global sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dengan terumbu karang termegah di planet Bumi.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa kehadiran tambang nikel di pulau kecil seperti Gag adalah sebuah kesalahan fundamental. “Pulau Gag merupakan pulau kecil atau tiny island, yang seharusnya tidak boleh ditambang,” tegas Arie ketika dihubungi, Jumat (12/9/2025).
Arie memaparkan, karakter pertambangan nikel dengan metode open pit mining atau tambang terbuka akan mengharuskan pembabatan hutan secara besar-besaran. Luas konsesi yang mencapai hampir 13.000 kilometer persegi di sebuah pulau seluas 6.000 kilometer persegi dinilai sangat tidak proporsional dan berbahaya.
“Nikel itu dibawa keluar, sehingga akan sulit melakukan pemulihan di wilayah itu,” jelas Arie. Dampak negatifnya, lanjut dia, akan meluas hingga merusak pesisir, biota laut, dan terumbu karang yang menjadi jantung kehidupan Raja Ampat. Aktivitas tambang disebutnya akan secara perlahan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat setempat, hanya untuk meninggalkan kerusakan abadi setelah cadangan nikel habis.
Greenpeace Gugat dan Desak Pencabutan Izin
Menanggapi beroperasinya kembali PT Gag Nikel, Greenpeace bersama lebih dari 60.000 masyarakat yang telah menandatangani petisi, berkomitmen untuk terus melawan. Mereka mendesak pemerintah segera mencabut izin PT Gag Nikel serta menghentikan semua rencana penambangan nikel dan pembangunan smelter di Sorong maupun Raja Ampat.
Arie menegaskan bahwa operasi tambang ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Tak ada nikel yang sepadan dengan hancurnya ekosistem Raja Ampat yang disebut-sebut sebagai surga terakhir di Bumi ini,” pungkasnya.
Ia menyimpulkan bahwa langkah pemerintah ini bukan hanya pengabaian terhadap ekosistem, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap komitmen iklim Indonesia dan memperdalam krisis ekologis yang sudah mengancam.
Comment