SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Editorial
Home / Editorial / Polemik Gaji DPR vs Upah Rakyat Nasional

Polemik Gaji DPR vs Upah Rakyat Nasional

Ilustrasi, Headlinesia.com
Ilustrasi, Headlinesia.com

HEADLINESIA.com, Polemik gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut menyentuh Rp100 juta per bulan (setara Rp3 juta/hari) kembali menggurita dan mengiris hati nurani publik. Angka fantastis ini, yang didorong oleh tunjangan perumahan pengganti rumah dinas senilai puluhan juta rupiah, muncul bak duri dalam daging di tengah realitas rakyat yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar.

Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp4,2 juta sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Namun, gemuknya penghasilan berasal dari segudang tunjangan: jabatan, komunikasi, kehormatan, listrik, telepon, dan kini, tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas. Perombakan kebijakan tunjangan inilah yang diduga menjadi pemicu lonjakan take-home pay menjadi sekitar Rp100 juta per bulan, menciptakan ironi di mana gaji kecil berubah menjadi penghasilan super.

Kontras dengan kemewahan di Senayan, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 mencatat Upah Minimum Provinsi (UMP) rata-rata nasional hanya Rp3,5 juta per bulan. Bahkan, banyak warga jauh di bawah angka itu: petani di Indramayu bisa sebulan hanya dapat Rp2 juta, nelayan kecil di pesisir utara Jawa sekitar Rp1,5 juta bila cuaca baik, sementara di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih bergulat dengan air bersih dan stunting. Ketika wakil rakyat menghabiskan Rp3 juta per hari, sebagian rakyat yang diwakili kesulitan membeli lauk harian.

Pembelaan bahwa tanggung jawab besar menyusun UU, mengawasi pemerintah, dan risiko politik membenarkan gaji tinggi, terbantahkan oleh fakta. Sejarah membuktikan, gaji besar tidak otomatis mencegah korupsi. Banyak anggota DPR tersandung kasus suap meski penghasilannya lebih dari cukup. Masalah utamanya adalah integritas moral dan lemahnya akuntabilitas, bukan semata besaran angka. Legitimasi kekuasaan, menurut filsafat politik, lahir dari moralitas, keadilan, dan pengabdian – bukan prosedur demokrasi semata. “Cukup bagi kami” yang terlontar dari beberapa anggota DPR justru melukai dan memperlebar jurang empati.

Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia terjebak paradoks: gaji legislator naik, sementara indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik justru dipertanyakan. Untuk mengembalikan kepercayaan, tiga solusi krusial diajukan: Pertama, transparansi total komponen gaji dan tunjangan DPR. Kedua, pembentukan lembaga independen (komisi etik/audit publik) untuk menilai kewajaran tunjangan, mengakhiri konflik kepentingan DPR yang menetapkan gajinya sendiri. Ketiga, kesadaran bahwa setiap rupiah berasal dari pajak rakyat – uang rakyat yang dititipkan, bukan milik negara.

Gubernur Aceh Tolak Pemotongan Dana Transfer

Polemik gaji Rp100 juta DPR bukan sekadar debat angka, melainkan ujian moral bagi republik tentang keadilan dan makna pengabdian. Kursi DPR semestinya adalah singgasana pengorbanan dan tanggung jawab, bukan bisnis. Keseimbangan harus dibangun: gaji cukup untuk hidup layak tanpa memutus rasa empati pada rakyat. Ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh melampaui kesejahteraan yang diwakilinya. Teladan kesederhanaan pendiri bangsa seperti Bung Hatta harus menjadi cermin. Yang dibutuhkan bangsa ini bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen integritas dan keberpihakan pada rakyat.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×
×