headlinesia.com, Jakarta, 4 Juli 2025 – Ketua DPR RI Puan Maharani melayangkan kritik keras kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, memintanya menghormati fakta sejarah terkait pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Sorotan Puan muncul menyusul pernyataan Fadli Zon yang mempersoalkan diksi “massal” dalam peristiwa tersebut, yang dinilainya berpotensi melukai korban dan mengabaikan pengakuan sejarah resmi, termasuk dari Presiden ke-2 RI BJ Habibie.
“Jangan sampai fakta-fakta sejarah kemudian tidak dihargai dan dihormati,” tegas Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025). Ia menegaskan bahwa keberadaan peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998, dengan mayoritas korban perempuan etnis Tionghoa, bukan hanya telah diakui oleh korban dan masyarakat, tetapi juga dibenarkan oleh para ahli sejarah.
Puan menegaskan, pengakuan para sejarawan ini semestinya menjadi dasar bagi semua pihak, termasuk pejabat negara, untuk menerima fakta tersebut. “Ya coba kita buak fakta-fakta sejarah itu, kita kaji kembali, kita lihat kembali,” ujarnya. Ia memperingatkan bahwa upaya penyangkalan, seperti yang ditunjukkan Fadli Zon, hanya akan menambah luka keluarga korban dan mengaburkan rekam jejak bangsa.
Bantahan dan Nuansa Fadli Zon
Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon menyatakan bahwa dirinya tidak menyangkal sama sekali bahwa pemerkosaan terjadi selama kerusuhan Mei 1998. “Saya begitu juga dengan kerusuhan Mei 1998 itu kan sesuatu kerusuhan yang telah menimbulkan banyak korban. Korban jiwa, korban harta, termasuk pemerkosaan, ya,” kata Fadli Zon.
Namun, Menteri Kebudayaan itu secara khusus mempersoalkan penggunaan istilah “massal”. Menurutnya, penyangkalan terhadap label “massal” ini murni merupakan pendapat pribadinya, bukan bagian dari proyek penulisan ulang sejarah yang sedang digarap Kementeriannya.
Alasan Penolakan Istilah “Massal”
Fadli Zon menjelaskan alasan penolakannya terhadap diksi “massal”. Ia berargumen bahwa kata “massal” secara implisit mengandung makna bahwa peristiwa tersebut terjadi secara terstruktur dan sistematis. “Massal itu sangat identik dengan terstruktur yang sistematis,” imbuhnya.
Untuk memperkuat argumennya, Fadli Zon membandingkannya dengan peristiwa pemerkosaan massal oleh tentara Jepang di Nanking (dengan korban 100-200 ribu) atau oleh pasukan Serbia di Bosnia (30-50 ribu korban). Ia menekankan bahwa pengakuannya terhadap terjadinya pemerkosaan pada 1998 tetap ada. “Saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi dan saya mengutuk dengan keras, dan kalau ada fakta-fakta yang terkait hukum atau pendokumentasian, saya kira tidak ada masalah,” tegasnya.
Mengapa Polemik Ini Penting?
Polemik penggunaan istilah “massal” ini bukan sekadar perdebatan semantik. Ia menyentuh persoalan mendasar tentang pengakuan sejarah, keadilan bagi korban, dan upaya rekonsiliasi nasional. Penyangkalan, atau bahkan keraguan yang diungkapkan pejabat publik terhadap skala dan sifat kejahatan yang telah diakui secara luas dan didokumentasikan oleh berbagai laporan independen (seperti Tim Gabungan Pencari Fakta/TGPF), berisiko merelatifkan penderitaan korban dan menghambat proses penyembuhan kolektif bangsa. Puan Maharani menekankan bahwa menghormati fakta sejarah yang telah mapan adalah langkah penting untuk mencegah pengulangan tragedi serupa di masa depan.
Kontroversi ini juga mengangkat pertanyaan tentang peran pejabat negara dalam menjaga integritas narasi sejarah, terutama terkait peristiwa kelam yang masih menyisakan luka mendalam bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Comment