Di balik gegap gempita Proklamasi 17 Agustus 1945, tersimpan drama kecil yang nyaris menghilangkan harta karun nasional: naskah asli Proklamasi tulisan tangan Bung Karno. Berkat kewaspadaan seorang jurnalis muda, Burhanuddin Mohammad Diah, secarik kertas saksi bisu kemerdekaan itu terselamatkan dari nasib menggenang di tempat sampah—untuk kemudian dibawanya keliling dunia selama puluhan tahun.
HEADLINESIA.com, Suhu ruangan di Jalan Pegangsaan Timur 56 memanas dini hari jelang detik-detik kemerdekaan. Sayuti Melik, dengan jari gemas, mengetik ulang konsep naskah Proklamasi yang baru saja dirumuskan. Hasilnya? Baris-baris ketikan miring dan tidak rapi. Waktu mendesak. Begitu selesai, naskah tulisan tangan Sang Proklamator, Soekarno, teronggok begitu saja di dekat mesin tik, nyaris terlupakan.
“Nasibnya hampir terbuang! Tapi, syukurlah ada yang menyelamatkan,” ujar Karisa, pemandu Museum Perumusan Naskah Proklamasi, kepada Kompas.com, Minggu (3/8/2025). Siapa sosok penyelamat itu?
BM Diah: Mata Elang di Tengah Kecamuk
Dialah Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah), jurnalis pejuang asal Aceh. Usai naskah ketikan ditandatangani Soekarno-Hatta di ruang tengah, Diah menyelinap ke kamar ketik. Di sana, ia menemukan konsep tulisan tangan Bung Karno tergolek tak bertuan.
“Saya ambil, lipat baik-baik, lalu masukkan ke kantong,” kenang Diah, seperti diabadikan dalam buku “17 Fakta Mencengangkan di Balik Kemerdekaan Indonesia” (Hendri F. Isnaeni, 2015). Saat itu, Sayuti Melik bahkan mengira naskah asli telah tergelincir ke lubang sejarah. “Anggapan saya salah! Ternyata BM Diah-lah yang menyelamatkannya untuk dokumentasi,” aku Sayuti dalam buku yang sama.
47 Tahun Mengembara di Kantong Sejarah
Naskah berharga itu tak lepas dari genggaman Diah selama 47 tahun. Ia membawanya ke berbagai penjuru dunia, bagai menjaga relikui kemerdekaan yang tak ternilai. Baru pada 1993, melalui proses haru, Diah menyerahkan artefak bersejarah itu kepada Presiden Soeharto.
“Kini, naskah asli itu disimpan dengan khidmat di Arsip Nasional Republik Indonesia,” tegas Karisa.
Lebih dari Sekadar Penyelamat
Peran Diah tak cuma sebagai penyelamat naskah. Ia juga saksi hidup proses pengetikan Proklamasi. Saat Bung Karno memanggil Sayuti Melik dengan selembar kertas sambil berkata, “Ti, Ti, tik ini!”, Diah berdiri persis di belakang Sang Pengetik.
“Saya mengawal setiap jentikan mesin tik yang melahirkan teks suci kemerdekaan,” tutur Diah, menggambarkan momen sakral yang mengubah takdir bangsa.
Warisan Abadi di Tinta dan Kertas
Kisah penyelamatan naskah Proklamasi oleh BM Diah bukan sekadar fragmen sejarah, melainkan bukti kecerdikan dan nasionalisme tanpa pamrih. Andai tak ada tindakan cepat sang jurnalis, mungkin bangsa ini hanya akan mengenal Proklamasi dari salinan ketikan yang miring.
Kini, setiap goresan tinta Bung Karno di kertas usang itu tetap hidup—menjadi jiwa yang merdeka, tersimpan rapi sebagai pengingat: bahwa kemerdekaan juga lahir dari kesigapan seorang pemuda yang percaya, sejarah terlalu berharga untuk dibuang.
Comment