Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mendesak Presiden Prabowo Subianto menindak tegas 15 perusahaan pemegang izin kehutanan dan perkebunan yang teridentifikasi sebagai sumber kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau. Desakan ini mengemuka menyusul protes diplomatik Malaysia dan Singapura akibat kabut asap lintas batas yang memicu krisis lingkungan. Data satelit Aqua dan Terra dengan confidence level di atas 70% per periode 1 Mei s/d 24 Juli 2025 terdapat 310 titik panas di Tujuh Kabupaten dan Kota di Riau, dan terdeteksi di APP/Sinar Mas Grup, APRIL Group, dan Panca Eka Group.
HEADLINESIA.com, PEKANBARU, 25 Juli 2025 – Krisis kabut asap di Riau sepanjang 2025 memicu tekanan internasional setelah Malaysia dan Singapura mengirimkan nota diplomatik terkait polusi asap lintas batas. Menanggapi hal ini, Walhi Riau mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan pembiaran terhadap 15 perusahaan pemegang izin kehutanan dan perkebunan yang terlibat dalam karhutla.
Data satelit Aqua dan Terra periode 1 Mei–24 Juli 2025 dengan confidence level >70% mencatat 310 titik panas di tujuh Kabupaten dan Kota. Analisis spasial Walhi Riau mengidentifikasi klaster perusahaan penyebab kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan titik panas dengan peta konsesi Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Hak Guna Usaha (HGU) dan hasilnya sebagai berikut:
- Izin PBPH:
- PT Citra Buana Inti Fajar & PT Perawang Sukses Perkasa (APP/Sinar Mas Grup) di Kampar,
- CV Bhakti Praja Mulia, PT RAPP, PT Selaras Abadi Utama (APRIL Group) di Pelalawan,
- PT Diamond Raya Timber (Panca Eka Group) dan PT Ruas Utama Jaya (APP/Sinar Mas Grup) di Rokan Hilir & Dumai.
- Izin HGU:
- PT Priatama Riau (Bengkalis),
- PT Nusaesa Bina (Kampar),
- PT Tri Bakti Sarimas II (Kuantan Singingi),
- PT Sabira Negeriutama & eks PT Trisetya Usama Mandiri (Pelalawan),
- PT Jatim Jaya Perkasa & PT Kilau Kemuning Perkasa (Rokan Hilir),
- serta PT Unico Bimasari (Siak).
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Even Sembiring, menegaskan bahwa penegakan hukum selama ini cenderung menyasar masyarakat kecil, bukan korporasi. Padahal, instrumen hukum seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Perda Riau No. 1/2019 telah mengatur sanksi pidana bagi perusahaan pelaku karhutla.
“Kunci persoalan klasik ini adalah kemauan dan keberanian penegak hukum. Jika tidak ada tindakan tegas, komitmen pemerintah hanya gimik belaka,” tegas Boy.
Terkait bantuan pemadaman, adalah perihal kepatuhan perusahaan menjaga areal kerja, tidak ada hubungannya dengan bantuan pemadaman yang diberikan perusahaan.
Di sisi lain, jika perusahaan beralibi lokasi terbakar merupakan wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal kerja mereka, maka hal itu juga tidak dapat meringankan hukuman perusahaan. Hal tersebut justru menambah catatan buruk kegagalan perusahaan memenuhi komitmen perizinannya yaitu tidak mampu menjaga areal kerja, menyelesaikan konflik, dan mencegah karhutla.
Sementara itu, upaya Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) oleh BMKG telah dilakukan sejak 21 Juli 2025 dengan 17 sorti dan 15.600 kg bahan semai. Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto, menjelaskan strategi TMC untuk menjaga kelembapan lahan gambut. “Target kami menaikkan tinggi muka air tanah gambut di atas -40 cm guna menekan potensi kebakaran, terutama di Agustus,” ujarnya.
Walhi mengkritik ketergantungan pada TMC sebagai solusi temporer. “Dana TMC seharusnya dialihkan untuk pencegahan karhutla, pengawasan perizinan, dan penyelesaian konflik lahan,” tegas Boy.
Krisis karhutla 2025 telah melanda 27 provinsi di Indonesia, dengan Riau menjadi sorotan krusial mengingat komitmen Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Desakan Walhi ini menekankan urgensi penegakan hukum sistematis untuk mencegah ulangan bencana tahunan.
Comment