Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik korupsi pencairan kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar yang didalangi oleh internal bank dan mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp254 miliar. Lima tersangka, termasuk direktur dan pejabat tinggi PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha, ditahan usai penyidik mengantongi bukti cukup. Modusnya, para tersangka mengarang debitur dari kalangan tukang, ojek online, hingga pengangguran untuk mencairkan kredit besar-besaran tanpa analisis yang layak.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 19 SEPTEMBER 2025 – KPK secara resmi melakukan penahanan terhadap lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang menggoyang industri perbankan regional. Lima tersangka itu diamankan usai penyidik menemukan bukti yang cukup terkait pencairan kredit fiktif senilai ratusan miliar rupiah di PT BPR Bank Jepara Artha (Perseroda) pada periode 2022-2024.
Kelima tersangka tersebut adalah:
- Jhendik Handoko (JH) – Direktur Utama BPR Jepara Artha
- Iwan Nursusetyo (IN) – Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha
- Ahmad Nasir (AN) – Kepala Divisi Bisnis, Literasi dan Inklusi Keuangan BPR Jepara Artha
- Ariyanto Sulistiyono (AS) – Kepala Bagian Kredit BPR Jepara Artha
- Mohammad Ibrahim Ala’syari (MIA) – Direktur PT. BMG yang berperan sebagai pencari ‘debitur bodong’.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi persnya, Kamis (18/9/2025), menyatakan “Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2025 sampai dengan 7 Oktober 2025. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK.”
Asep menjelaskan bahwa skandal ini berawal dari kesepakatan pada 2022 antara JH (Direktur Utama) dan MIA (Direktur PT BMG) untuk mencairkan kredit fiktif. Tujuannya, untuk menutupi kredit macet dan membuat kinerja keuangan bank tampak sehat secara artifisial.
Modus yang diungkap KPK sangat terstruktur. MIA bertugas menghimpun identitas orang-orang untuk dijadikan debitur fiktif. Identitas yang dihimpun berasal dari pedagang kecil, tukang, buruh, karyawan, ojek online, hingga pengangguran yang ‘dibuat’ seolah-olah layak menerima kredit rata-rata Rp7 miliar per debitur. Atas jasanya, MIA dan tiga rekannya (yang tidak disebutkan namanya) mendapat fee Rp100 juta per debitur.
Tanpa analisis kelayakan yang benar, BPR Jepara Artha kemudian mencairkan 40 kredit fiktif dengan total nilai fantastis, Rp263,6 miliar, pada April 2022 hingga Juli 2023. Uang tersebut tidak digunakan untuk usaha debitur, melainkan untuk membiayai kebutuhan internal bank yang bermasalah.
“Uang tersebut digunakan untuk membayar kebutuhan seperti biaya notaris, biaya premi, hingga memperbaiki kredit macet. Tak hanya itu, uang juga digunakan ke para tersangka untuk kebutuhan pribadi,” papar Asep.
Akibat aksi koruptif ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah menghitung kerugian negara yang ditanggung akibat kredit macet tersebut mencapai Rp254 miliar. Skandal ini membuat kinerja BPR Jepara Artha menjadi lesu dan merugikan perekonomian.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31/1999 jo Undang-Undang No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pengembangan kasus masih terus dilakukan untuk mengusut tuntas jaringan dan aliran dana yang tidak sah tersebut.
Comment