Menteri Keuangan (Menkeu) terbaru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengambil langkah berani sebagai tanggap krisis pertamanya. Dia akan mengalirkan Rp200 triliun dari kas pemerintah yang menganggur di Bank Indonesia (BI) ke sistem perbankan untuk menyelamatkan likuiditas nasional dan mencegah keterpurukan sektor riil. Kebijakan ini diambil setelah Purbaya mencatat kesalahan fatal pola kebijakan fiskal dan moneter yang diulangi hingga medio 2024, yang membuat pertumbuhan uang beredar anjlok ke 0% dan ekonomi melambat.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2025 – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membongkar strategi jitu pencegah krisis ekonomi yang akan segera ia eksekusi. Langkah pertama yang akan dia ambil sebagai bendahara negara adalah dengan menarik dana pemerintah senilai Rp425 triliun yang terparkir di Bank Indonesia (BI) dan mengembalikannya ke dalam sistem keuangan.
“Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, jaga kondisi likuiditas di sistem ekonomi,” tegas Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (10/9/2025).
Dari total kas tersebut, Rp200 triliun akan segera dialirkan ke sistem perbankan agar bisa menggerakkan sektor riil. Purbaya telah memastikan bank sentral untuk tidak menyerap kembali uang tersebut agar likuiditas benar-benar terjaga.
Kebijakan ini berangkat dari pelajaran pahit yang terus terulang. Purbaya mengingatkan tiga kali krisis besar: 1998, 2008, dan pandemi 2020. Menurutnya, akar masalahnya sama: kebijakan moneter dan fiskal yang terlalu ketat membuat likuiditas di sistem kering dan memukul sektor riil.
Dia menyoroti kekacauan kebijakan pada krisis 1998, di mana BI menaikkan bunga hingga di atas 60% namun uang primer (base money) justru melonjak 100%. “Imbasnya, kebijakan moneter kacau-balau, sektor riil hancur, dan nilai tukar tetap tertekan. Saat itu pemerintah secara tidak sadar membiayai kehancuran ekonomi sendiri,” paparnya.
Sebaliknya, pada 2008-2009 dan saat pandemi, langkah ekspansif berhasil menyelamatkan ekonomi. Purbaya mengaku merekomendasikan pola serupa kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat Covid-19 melanda, di mana base money sempat minus 15,3% pada Maret 2020. Rekomendasinya ditanggapi dengan penyaluran Rp300 triliun oleh BI pada Mei 2021. “Laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit 11%. Itu yang menyelamatkan ekonomi kita,” jelasnya.
Sayangnya, otoritas lupa pada pelajaran tersebut. Purbaya mencatat uang beredar kembali menurun drastis hingga pertumbuhannya 0% pada medio 2024, yang akhirnya memperlambat perekonomian. Pemerintah kerap menyalahkan ketidakpastian global, padahal 90% perekonomian Indonesia digerakkan oleh permintaan domestik.
Tekanan berkepanjangan inilah yang menurut Purbaya memicu gejolak sosial. “Yang kemarin demo itu, karena tekanan berkepanjangan di ekonomi, akibat kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sendiri,” ujarnya blak-blakan.
Untuk memecahkan masalah serapan anggaran yang lamban, Purbaya juga berkomitmen untuk memonitor kinerja belanja kementerian/lembaga secara rutin dan meminta percepatan eksekusi program.
Dia menutup dengan perbandingan dua era. Pada masa Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi rata-rata hampir 6% didukung laju uang primer 17%, sehingga kredit swasta tumbuh 22%. Sementara di era Jokowi, pertumbuhan rata-rata di bawah 5% karena uang beredar hanya tumbuh sekitar 7%.
Oleh karena itu, Purbaya yakin dengan menggabungkan kekuatan sektor swasta dan fiskal pemerintah, pertumbuhan ekonomi 6,5% bukan mustahil untuk dicapai. “Saya ciptakan kondisi di mana mereka berpikir dan berjalan dan bisa tumbuh. Itu yang ingin kita ciptakan,” tutupnya penuh keyakinan.
Comment