Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang dinilai menyiratkan guru sebagai “beban negara” memantik reaksi keras dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Organisasi profesi guru itu menilai ucapan Menkeu berlebihan, menyakitkan, dan tidak mencerminkan pengorbanan nyata para pendidik, terutama yang berjuang di daerah terpencil. PGRI mendesak pemerintah untuk lebih bijaksana dan fokus pada peningkatan kesejahteraan guru alih-alih melontarkan pernyataan yang merendahkan martabat mereka.
HEADLINESIA.com, JAKARTA, 20 AGUSTUS 2025 – Ketua Badan Khusus Komunikasi dan Digitalisasi Organisasi PGRI, Wijaya, menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas pernyataan Menkeu yang viral tersebut. “Pernyataan Ibu Menkeu Sri Mulyani berlebihan dan menyakitkan, mengingat fakta bahwa guru, terutama yang berstatus honorer dan mengabdi di daerah pelosok, justru menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Wijaya dalam pernyataan sikap resmi PGRI, Selasa (19/8).
Data dari Kementerian Pendidikan pun dibeberkan untuk menggambarkan besarnya kontribusi guru. Hingga 2022, tercatat ada 704.503 guru honorer, ditambah 141.724 Guru Tidak Tetap (GTT) kabupaten/kota serta 13.328 GTT provinsi. Pemerintah sendiri telah berupaya mengurangi kesenjangan dengan mengangkat 774.999 guru menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hingga awal 2024, dengan target satu juta guru.
Meski rasio murid dan guru nasional terlihat baik di angka 16:1, Wijaya menekankan bahwa persoalan utama adalah distribusi guru yang tidak merata, khususnya di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). “Hingga kini, banyak guru yang harus mengajar lintas mata pelajaran karena keterbatasan tenaga pendidik di pelosok,” ujarnya.
Pengabdian guru di lapangan, menurut Wijaya, justru menunjukkan fakta yang berkebalikan dengan stigma “beban negara”. Diceritakannya, di Sigi, Sulawesi Tengah, guru SMPN 16 harus mendaki bukit dan mendatangi rumah siswa hingga tiga kali seminggu akibat ketiadaan internet dan listrik untuk pembelajaran.
Kisah perjuangan serupa datang dari Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, dimana seorang guru honorer, Rudi Hartono, setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit bambu dan bahkan menggendong muridnya saat arus deras untuk memastikan anak didiknya bisa bersekolah. Sementara di Lebak, Banten, Jubaedah telah 30 tahun berjalan kaki menembus hutan, meski pernah terperosok jurang, demi mencerdaskan anak-anak di desanya.
Di sisi kebijakan, pemerintah sebenarnya telah menetapkan tunjangan khusus setara satu kali gaji pokok bagi guru di daerah sangat tertinggal. Namun, realisasinya di lapangan masih terkendala masalah distribusi anggaran dan ketepatan sasaran.
Oleh karena itu, PGRI mendesak pemerintah untuk mengalihkan energi pada hal yang lebih substantif. “Kalau mau disebut beban negara, yang patut disebut sebagai beban negara adalah mereka yang memakan dan menghabiskan uang negara tanpa tanggung jawab, seperti para koruptor,” seru Wijaya. Guru justru mengabdi tanpa bayaran layak untuk mendidik lebih dari 62 juta murid.
Wijaya menegaskan bahwa profesi guru adalah panggilan pengabdian yang menopang masa depan bangsa. Karena itu, dukungan penuh dari negara menjadi keharusan, bukan pilihan apalagi merendahkan dan menyakiti para guru.
Polemik ini menyoroti ketimpangan antara pernyataan elite politik dengan realita di lapangan, sekaligus mengingatkan kembali betapa vitalnya peran guru dan betapa kompleksnya tantangan yang mereka hadapi, dari soal kesejahteraan hingga pemerataan. Dukungan nyata, bukan stigmatisasi, merupakan jalan utama untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia.
Comment