HEADLINESIA.com, JAKARTA, 31 Juli 2025 – Gelombang penurunan kelahiran bayi yang melanda negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan kini sampai di Indonesia. Ibu Kota Jakarta justru memimpin tren “baby bust” nasional dengan angka kelahiran terendah di Tanah Air, jauh di bawah batas ideal untuk menjaga keseimbangan populasi. Fakta ini memicu kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap struktur demografi kota metropolitan ini.
Data terbaru menunjukkan gambaran nasional yang mengkhawatirkan. Total Fertility Rate (TFR) atau angka rata-rata kelahiran per perempuan Indonesia anjlok signifikan. Dari level tinggi 5,61 anak per perempuan pada 1971, TFR nasional merosot hingga hanya 2,18 anak per perempuan di tahun 2020. Meski masih lebih baik dari Korea Selatan yang diprediksi TFR-nya hanya 0,68 di tahun 2024, tren penurunan ini tetap jadi sorotan.
Jakarta Episentrum Penurunan
Di tingkat provinsi, Jakarta mencatat rekor TFR paling rendah: hanya 1,75. Artinya, rata-rata perempuan di Ibu Kota hanya melahirkan kurang dari 2 anak sepanjang masa suburnya. Angka ini jauh di bawah batas penggantian populasi (replacement level) sebesar 2,1 yang diperlukan agar populasi stabil tanpa migrasi.
Kekhawatiran makin menguat dengan rendahnya Crude Birth Rate (CBR) atau angka kelahiran kasar Jakarta, yakni 13,94 kelahiran per 1.000 penduduk. Kombinasi TFR dan CBR yang rendah ini menjadi bukti nyata ibu kota tengah mengalami “demographic winter”, tren penurunan kelahiran yang berpotensi mengubah wajah demografi kota dalam beberapa dekade mendatang.
Akar Masalah Biaya Hidup Tinggi & Pendidikan Perempuan
Analisis mengungkap beberapa faktor kunci di balik fenomena ini. Pertama, beban biaya hidup di Jakarta yang termasuk tertinggi di Indonesia memaksa banyak pasangan menunda punya anak atau membatasi jumlah anak demi alasan finansial. “Hidup di kota besar seperti Jakarta berarti menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Memiliki anak menjadi pertimbangan biaya yang sangat matang,” jelas seorang pakar demografi.
Kedua, tingkat pendidikan perempuan Jakarta yang relatif tinggi berkontribusi besar. Perempuan berpendidikan tinggi cenderung menunda pernikahan dan memprioritaskan karier, sehingga memilih memiliki anak lebih sedikit. Ketiga, akses mudah terhadap program Keluarga Berencana (KB) dan alat kontrasepsi di kota besar memungkinkan pasangan mengontrol jumlah kelahiran dengan lebih efektif.
Masa Depan yang Dipertanyakan
Tren penurunan kelahiran yang kentara di Jakarta ini bukan hanya sekadar angka statistik. Para ahli memperingatkan dampak serius jangka panjang, termasuk penyusutan populasi usia produktif, peningkatan rasio ketergantungan lansia, serta tekanan pada sistem jaminan sosial dan kesehatan. Tantangan demografi baru bagi Ibu Kota dan Indonesia secara nasional pun mulai mengemuka.
Comment