Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
Ritual Sa’i yang menjadi bagian dari rangkaian ibadah haji dan umrah, adalah aktivitas berjalan bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah. Perjalanan sekitar 3,5 KM dengan berjalan kaki. Di balik gerakan fisiknya, tersimpan simbolisme yang mendalam tentang perjuangan, harapan, dan penyerahan diri kepada Tuhan. Sa’i bukan sekadar prosesi ritual, melainkan cerminan dari dinamika jiwa manusia yang berusaha dan bergantung pada Sang Pencipta.
Ritual ibadah Sa’i mengacu pada kisah Siti Hajar, ibu dari Nabi Ismail, yang dengan gigih mencari air di padang pasir demi menyelamatkan anaknya. Dalam Psikologi Islam, tindakan ini menggambarkan perpaduan antara ikhtiar (usaha manusiawi) dan tawakkul (kebergantungan pada Allah). Konsep ini sejalan dengan pandangan Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diraih melalui penyatuan antara akal (‘aql), nafs (dorongan psikologis), dan qalb (kesadaran spiritual).
Dalam konteks Psikologi Modern, Sa’i dapat dipahami sebagai bentuk nyata dari resiliensi (resilience), yakni kemampuan seseorang untuk tetap tangguh di tengah tekanan dan kesulitan. Kisah Siti Hajar menggambarkan bentuk coping aktif (active coping), di mana individu menghadapi masalah dengan tindakan konstruktif yang dipenuhi keyakinan dan harapan.
Ini sejalan dengan teori coping Lazarus dan Folkman, yang menekankan pentingnya persepsi kendali terhadap situasi untuk mengatasi stres, yang menunjukkan bahwa keyakinan akan kemampuan diri untuk bertindak dalam situasi sulit memiliki peran penting dalam meredakan tekanan psikologis, sebagaimana dicontohkan dalam Sa’i ketika Siti Hajar terus bergerak mencari pertolongan di tengah keterbatasan dan ketidakpastian.
Dari kacamata Psikologi Islam, upaya dan ketergantungan kepada Tuhan (ikhtiar dan tawakkal) adalah dua sisi dari kesehatan jiwa yang seimbang. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa usaha lahiriyah harus disertai dengan ketenangan batin yang bersumber dari penyerahan diri kepada Allah. Hal ini bersesuaian dengan konsep locus of control, di mana individu yang sehat secara mental mampu mengatur keseimbangan antara kontrol internal dan eksternal yang ada dalam dirinya.
Selama melaksanakan Sa’i, para jamaah dituntut untuk mempertahankan semangat, menjaga motivasi, dan mengendalikan emosi meski berada dalam kondisi fisik yang melelahkan. Ini merupakan praktik nyata dari self regulation, yakni kemampuan untuk mengatur perilaku, pikiran, dan perasaan secara sadar. Dalam Islam, kemampuan ini dikenal dengan istilah mujahadatun nafs, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu demi mencapai kedekatan dengan Allah.
Dalam psikologi Barat, Albert Bandura mengembangkan konsep self efficacy, yaitu keyakinan individu atas kemampuannya untuk mengatasi tantangan. Sementara itu, Ibnu Miskawaih memandang penyucian jiwa dan pengendalian hawa nafsu sebagai jalan menuju keutamaan moral. Kedua pendekatan ini sama-sama menekankan pentingnya pengelolaan diri untuk mencapai kesehatan mental dan spiritual yang stabil.
Sa’i juga bisa dipandang sebagai terapi spiritual, yakni kegiatan yang membantu individu membersihkan jiwanya dari sifat negatif seperti putus asa, ragu, dan malas. Dalam tazkiyatun nafs, Sa’i menjadi proses internalisasi nilai-nilai seperti keyakinan terhadap kemampuan diri, ketekunan dan kesabaran dalam menghdapi tantangan.
Dalam kerangka psikologi eksistensial, seperti yang diungkapkan oleh Viktor Frankl dalam teori logoterapi, penderitaan dapat menjadi jalan menuju penemuan makna hidup. Sa’i dalam hal ini, bukan hanya ritual keagamaan, tetapi sarana untuk menggali makna terdalam dari perjuangan dan kehidupan.
Menurut teori attachment yang dikembangkan oleh Jhon Bowlby, hubungan emosional yang aman membentuk dasar dari kesehatan psikologis seseorang. Dalam Sa’i hubungan vertikal antara manusia dan Allah diperkuat secara intens melalui pengalaman spiritual yang mendalam. Ini menciptakan keterikatan spiritual yang aman, yang berfungsi sebagai penyangga dalam menghadapi tekanan hidup.
Dalam Psikologi Islam, ketenangan batin (sakinah) muncul ketika seseorang menggantungkan hatinya pada Allah dan tidak dikuasai oleh keinginan duniawi. Hal ini memperkuat temuan dalam psikologi modern bahwa koneksi spiritual dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk pulih dari tekanan dan menjaga keseimbangan emosi.
Selain itu, aspek kebersamaan sosial yang tampak dalam ritual Sa’I, di mana ribuan orang berjalan bersama dengan niat dan tujuan yang sama, membangun rasa solidaritas kolektif. Dalam Psikologi Sosial, dukungan sosial terbukti memperkuat daya tahan mental seseorang. Sa’i dalam konteks ini, menjadi wahana untuk memperkuat ikatan sosial dan menumbuhkan empati antarindividu.
Dalam pandangan eksistensialis, manusia secara alami mencari makna dalam setiap pengalaman, termasuk penderitaan. Sa’i melambangkan perjalanan makna, di mana setiap langkah bukan sekadar gerakan fisik, tetapi ekspresi dari iman, harapan, dan pencarian tujuan hidup yang lebih tinggi.
Dalam Psikologi Islam, proses pencarian makna ini dikenal sebagai hikmah, yakni kemampuan jiwa untuk menangkap pelajaran spiritual dari pengalaman hidup. Sa’i mengajarkan bahwa nilai kehidupan bukan hanya pada hasil, tetapi pada proses ikhtiar dan kesetiaan dalam menjalani perintah Tuhan. Ini sejalan dengan growth mindset dalam psikologi pendidikan, yang menekankan pentingnya terus belajar dan berkembang dari setiap ujian dalam kehidupan.
Sa’i adalah simbol dari perjalanan batin manusia dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Ia mengajarkan bahwa usaha yang sungguh-sungguh, kesabaran, dan penyerahan diri kepada Allah adalah fondasi dari kesehatan jiwa yang utuh.
Sa’i dapat dipahami sebagai media latihan mental, penguatan spiritual, dan penemuan makna hidup. Dalam setiap langkah Sa’i, manusia diajak untuk bertahan, berharap, dan tetap melangkah, meski hasilnya belum terlihat. Sa’i adalah refleksi bahwa dalam perjuangan hidup, Allah senantiasa menyertai mereka yang berusaha dengan iman.
_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral di UIN Sumatera Utara, Dosen di STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu di Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan di Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.
#opini #haedline #headlinesia #opiniIndonesia
Comment