Opini
Home / Opini / Sudah Waktunya Industri Televisi Tutup Usia

Sudah Waktunya Industri Televisi Tutup Usia

ARUSBAWAH Riau - Shodik Purnomo - Soroti Maraknya Hoax dan Konten Provokatif di Media Sosial
ARUSBAWAH Riau - Shodik Purnomo - Soroti Maraknya Hoax dan Konten Provokatif di Media Sosial

Opini Oleh: Shodik Purnomo, S.Sos

Layar Kaca yang Mulai Pudar: Sebuah Era yang Renta

Televisi pernah menjadi singgasana informasi, hiburan, dan mitos- mitos modern. Ia adalah kotak ajaib yang memantik imajinasi, membentuk opini, dan menyatukan keluarga di depan layarnya. Namun, seperti kerajaan-kerajaan besar dalam sejarah, televisi kini menapaki senjakalanya.

Di Indonesia, kisah televisi dimulai pada 24 Agustus 1962, ketika TVRI (Televisi Republik Indonesia) mengudara untuk pertama kalinya, menyiarkan langsung pembukaan Asian Games IV dari Gelora Bung Karno. Saat itu, televisi bukan sekadar teknologi, melainkan simbol kemajuan. Enam dekade kemudian, industri ini justru terengah-engah, tersungkur di bawah tekanan zaman.

Stasiun-stasiun televisi—dari yang legendaris seperti RCTI (1989) hingga yang lebih muda seperti Kompas TV (2011) dan iNews (2015)—kini memangkas karyawan secara masif. PHK besar-besaran bukan lagi isapan jempol, melainkan pertanda nyata: televisi konvensional sedang sekarat. Lantas, apakah sudah waktunya industri ini menutup usia?

BPK Ungkap Defisit APBD Riau 2024

Kejayaan Televisi dan Mitos tentang Kekekalannya

Televisi pernah menjadi raja tanpa tanding. Di Amerika Serikat, era 1950–1980 adalah masa keemasan ketika NBC, CBS, dan ABC memonopoli perhatian publik. Di Indonesia, TVRI bertahan sebagai satu-satunya stasiun televisi hingga 1989, ketika RCTI muncul sebagai televisi swasta pertama.

Tahun 1990-an hingga awal 2000-an menjadi puncak kejayaan televisi Indonesia. Sinetron, kuis, berita, dan acara musik menjadi konsumsi sehari-hari. RCTI, SCTV, Indosiar, dan Trans TV tumbuh bak raksasa yang tak tergoyahkan. Iklan mengalir deras, rating menjadi dewa penentu nasib, dan industri ini dianggap abadi.

Namun, sejarah membuktikan: tidak ada yang abadi dalam dunia teknologi.

Disrupsi Digital dan Runtuhnya Benteng Televisi

SA’I: REFLEKSI PERJALANAN PSIKOSPIRITUAL MANUSIA

Awal keruntuhan televisi dimulai ketika internet mengubah segalanya. YouTube (2005), Netflix (2007), dan platform digital lainnya menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan televisi: kebebasan memilih.

Generasi millennial dan Gen-Z tidak lagi duduk manis menunggu jam tayang. Mereka menonton apa saja, kapan saja, di mana saja. Televisi, dengan jadwal rigid dan iklan yang memaksa, tiba-tiba terasa kuno.

Data dari We Are Social (2023) menunjukkan bahwa:

•    98% penduduk Indonesia mengakses internet via ponsel.

•    Rata-rata waktu menonton televisi turun dari 4,5 jam/hari (2015) menjadi 2,8 jam/hari (2023).

Gubernur Jabar Tutup Tambang Longsor Gunung Kuda

•    82% generasi muda lebih memilih YouTube/TikTok ketimbang televisi.

Stasiun televisi berusaha beradaptasi dengan membuat platform streaming, tetapi terlambat. Mereka seperti kereta api yang mencoba mengejar pesawat.

PHK Massal dan Darurat Industri

Tahun 2023–2024 menjadi saksi betapa rapuhnya industri televisi:

Kompas TV merumahkan 150 karyawan. iNews melakukan efisiensi besar-besaran, bahkan menutup semua biro daerah pada 30 April 2025. MNC Group (yang menaungi iNews dan RCTI) merumahkan 400 pegawai. TV One mem-PHK 75 karyawan. CNN Indonesia TV memberhentikan sekitar 200 karyawan, termasuk memangkas jurnalis lapangan. RCTI, SCTV, dan Trans TV mengurangi program siaran langsung dan beralih ke konten repetitif untuk menghemat biaya.

Ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan gejala kepunahan.

Televisi tidak lagi menjadi sumber utama berita. Media sosial dan platform digital lebih cepat, lebih interaktif, dan lebih personal. Iklan—nyawa televisi—kini lebih banyak dialokasikan ke Google dan Meta (Facebook, Instagram) ketimbang TV.

Nostalgia dan Kenangan yang Tak Cukup

Ada kesedihan kolektif dalam kepunahan televisi. Siapa yang tidak rindu pada masa ketika “Si Doel Anak Sekolahan” atau “Titanic” ditonton bersama keluarga? Siapa yang tidak terkenang debat politik di “Indonesia Lawyers Club” atau tawa lepas di “Ini Talkshow”?

Namun, nostalgia tidak bisa menyelamatkan industri. Televisi ibarat surat kabar di era digital: masih ada, tetapi fungsinya bergeser.

Selamat Jalan, Televisi

Mungkin inilah saatnya menerima kenyataan: industri televisi sudah waktunya tutup usia. Bukan berarti ia akan hilang sepenuhnya, tetapi perannya tidak akan lagi sentral.

Televisi akan menjadi seperti radio—masih ada, tetapi hanya untuk segelintir pendengar setia. Atau seperti teater, yang bertahan sebagai seni, bukan lagi industri massal.

Sejarah teknologi tidak pernah memihak pada yang lamban. Televisi pernah menggeser koran dan radio sebagai raja informasi. Kini, gilirannya untuk tergantikan.

Layar kaca itu mungkin akan padam, tetapi cerita-ceritanya akan terus hidup—di dunia digital, di ingatan, dan dalam narasi tentang sebuah era yang telah berlalu.

Selamat jalan, televisi. Terima kasih untuk semua kenangan.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× Advertisement
× Advertisement